Di bawah cerobong lampu jalanan sebelah bengkel motor, aku terhenyak dalam sendu yang kulagukan. Adzan maghrib sudah dekat, pulas tidur seorang anak kecil yang kuduga demam sebab musim hujan tak kunjung reda. Lelaki paruh baya itu berjalan di atas pematang sawah dengan terburu buru, langkahnya sedikit goyah, hampir saja terjatuh sebab jalan tanah selepas hujan sore itu sedikit becek dan licin. Ia menaikkan sarungnya, mempercepat langkahnya, kemudian menyelipkan sabitnya di bagian belakang. Adzan maghrib berkumandang, ia terburu buru untuk pulang.
Sementara, seorang anak kecil masih asyik bermain air bersama temannya. Ibunya datang, lantas menyuruhnya pulang. Katanya sebentar lagi waktunya mengaji. Maka bergegas ia membawa anaknya untuk pulang, tak lepas tangan hingga sampai di rumah.
Di seberang jalanan, seorang kakek mulai menyulut rokoknya, ia terbuai sambil menikmati kopi sore dan rokok kretek di teras rumahnya. Gerimis hujan dan asap rokok menjadi teman lama yang saling melepas rindu. Tahun depan, cucunya akan menikmati segelas kopi susu di pinggir jalanan dengan suasana baru.
Begitu adzan maghrib berkumandang, ia cepat membuang puntung rokoknya menuju genangan air di tepi jalanan, kemudian bergegas pergi ke masjid untuk beribadah. Ibu tadi menggendong balik anaknya ke kamar tidur, tak terdengar tangisan, hanya terlihat pulas dan pualam. Matahari berjalan perlahan menantikan bulan berangkat kerja, selalu ada gelap di setiap pertemuan mereka. Di kolong langit sore, awan masih perkasa tak tergantikan, senja hanya diberi sedikit ruang untuk berbinar.
Comments