Kemiskinan secara harfiah dapat diartikan
sebagai keadaan tidak memiliki apa-apa untuk secara cukup. Kemiskinan juga
diartikan sebagai kondisi di mana individu tidak mampu secara ekonomi untuk
memenuhi standar hidup masyarakat di suatu daerah. Dalam arti proper kemiskinan
dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan
hidup. Dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu fenomena ulti face atau
multidimensional (Ramdass, 2010).
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi
oleh berbagai faktor, antara lain tingkat pendapatan, pendidikan, kesehatan,
kondisi geografis, dan akses terhadap barang dan jasa. Kemiskinan dapat dibagi dalam
empat bentuk, yaitu :
a)
Kemiskinan absolut,
yaitu bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk
memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan
untuk bisa hidup dan bekerja.
b)
Kemiskinan relatif,
yaitu kondisi miskin yang dipengaruhi oleh kebijakan pembangunan yang belum
menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
c)
Kemiskinan kultural,
yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha
memperbaiki kehidupan, malas, boros, tidak kreatif dan lain sebagainya.
d)
Kemiskinan
struktural, yaotu kondisi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap
sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik
yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan
suburnya kemiskinan.
Penduduk Miskin Menurut BPS
Menurut
BPS, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebuuthan dasar makanan dan bukan makanan yang diukut dari sisi pengeluaran.
Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Tingkat
kemiskinan
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu kurang dari 2100 kalor per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di lapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Patokan ini ber;ali untuk semua kelompok umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat skegiatan fisik, berat badan, serta perkitaan statust fisiologis penduduk.
Kemiskinan di DKI Jakarta
Menjadi kota terbesar di Indonesia berdasarkan jumlah penduduk tentunya menyebabkan DKI Jakarta tidak pernah lepas dari tingginya angka kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan Jakarta pada periode September 2022 sebesar 4.62 persen atau turun 0.08 persen poin dibandingkan Maret 2022. Ini merupakan kali kedua angka kemiskinan di DKI Jakarta menunjukkan penurunan sejak Pandemi Covid-19 setelah sebelumnya terjadi penurunan pada periode September 2021 sebesar 1,05 persen poin dibandingkan Maret 2021.
Berkurangnya
jumlah penduduk miskin ini antara lain dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi
yang tumbuh 5.94 persen dan berkurangnya pengangguran sebanyak 63 ribu orang
serta bertambahnya 238 ribu tenaga kerja baru.
Sumber : Badan Pusat Statistik
Di sisi
lain, rata-rata pengeluaran perkapita pada masyaraat miskin juga mengalami
peningkatan. Kondisi tersebut mengindikasikan usaha pemerintah untuk
mengendalikan harga dan menjaga daya beli masyarakat berhasil dan berdampak
pada meningkatnya konsumsi pada seluruh lapirsan masyarakat secara.
Sejalan
dengan kemiskinan, ketimpangan juga menurun. Menurunnya tingkat ketimpangan
pada periode September 2022 sebesar 0.011 persen ini juga dibarengi dengan
menurunnya indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan.
Penurunan
angka kemiskinan ini merupakan pertanda baik bagi kesejahteraan penduduk miskin
di DKI Jakarta. Hal ini berarti bahwa program penanggulangan kemiskinan yang
dilakukan oleh pemerintah menunjukkan hasil yang baik (Negeri, 2023)
Negeri, O. M. (2023). Pertama Kali Sejak Pandemi Covid-19
, Tingkat Kemiskinan sekaligus Ketimpangan Jakarta Perlahan Turun. 06.
Ramdass, R.
(2010). Managerial communication - The key to continuous engagement and
competitive advantage. Proceedings - European Aviation Safety Seminar, EASS,
08(03), 585–597.
Comments