Ini adalah cerita pengalaman saya
ketika mendaki gunung rinjani untuk pertama kalinya.
Saat itu saya masih kelas 11 SMA.
Saya sebelumnya sudah beberapa kali naik gunung, terutama ke gunung-gunung yang
ada di pulau Lombok. Pendakian pertama saya waktu itu adalah ke Bukit
Pergasingan ketika perayaan kelulusan SMP bersama teman-teman. Pendakian kedua
saya adalah ke Gunung Sangkareang yang sekaligus menjadi pendakian pertama saya
ke gunung, karena Pergasingan termasuk ke dalam kategori bukit. For your
information, Gunung Sangkareang tingginya mirip-mirip dengan gunung
rinjani, jadi sudah termasuk berat untuk kategori pendaki pemula seperti saya
pada waktu itu.
Beberapa kali sempat muncul
ajakan untuk naik gunung Rinjani, tapi selalu gagal, karena tidak ada niatan
sedikitpun. Seiring waktu berjalan, keinginan itu semakin kuat setelah mulai
sering menonton video-video pendakian di Youtube.
Sebelum ujian semester ganjil
kelas 11, saya bersama tiga kawan: Syarif, Iko, dan Rudi membuat rencana untuk
mendaki ke gunung Rinjani. Kami sebelumnya sama-sama pernah naik gunung, tapi
belum pernah ada yang ke Gunung Rinjani. Kami berencana akan berangkat satu
hari setelah pembagian raport semester ganjil.
Akhirnya, pada 19 Desember 2019,
perjalanan ke Gunung Rinjani pun dimulai.
Kami berangkat dari rumah sekitar
pukul 6 pagi, niat awalnya sebenarnya kami akan berangkat tepat setelah sholat
subuh, tapi karena ada beberapa barang yang belum di-packing akhirnya terpaksa
kami undur menjadi jam 6 pagi. Semua persiapan sudah siap, kami membawa 3 motor.
Gunung Rinjani memiliki beberapa
jalur pendakian, salah satunya adalah Desa Sembalun. Alasan kami memilih Desa
Sembalun sebagai jalur pendakian kami adalah karena jalur tersebut termasuk
jalur yang tidak terlalu berat untuk pendaki pemula seperti kami.
Pukul 8 pagi waktu setempat kami sampai di basecamp sembalun. Setelah sampai, kami langsung melakukan registrasi di posko Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Biaya masuknya sekitar 15.000 untuk pendaki lokal. Sebelum mendaki, barang bawaan yang bertipe plastik seperti botol plastik harus dicatat berapa banyaknya agar saat kembali nanti pihak TNGR bisa tahu sampah plastik tersebut dibawa pulang atau tidak. Hal tersebut bertujuan agar kelestarian Gunung Rinjani tetap terjaga dan tidak rusak oleh banyaknya sampah plastik.
Setelah melakukan registrasi,
kami pun memulai pendakian sekitar pukul setengah 9 pagi. Selama perjalanan,
kami tidak melihat banyak rombongan pendaki, hanya rombongan kami yang berjalan
pada waktu itu, agak aneh mengingat biasanya Gunung Rinjani selalu ramai
menjelang libur akhir tahun seperti ini. Selama perjalanan menuju Pos 1, mata
kami dimanjakan oleh sabana hijau yang sangat indah. Cuaca pada waktu itu
lumayan terik, tetapi suhunya terasa sejuk karena kami berada di dataran
tinggi.
Setelah sekitar 45 menit
berjalan, kami tidak kunjung menemukan Pos 1. Biasanya, pos-pos pendakian di
gunung diberi petunjuk oleh papan-papan, tapi selama perjalanan menuju Pos 1
itu, kami tak pernah sekalipun melihat satu petunjuk. Akhirnya, kami menemukan
sebuah gapura bertuliskan “SELAMAT DATANG DI TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI”.
Kami merasa lega. Setelah gapura tersebut, terdapat jembatan yang menghubungkan
satu tebing dengan tebing lainnya, anehnya jembatan tersebut tertutup oleh
kumpulan bambu dan kayu yang menghalangi jalan menuju tebing lainnya. Aneh.
sumber : dokumen pribadi
Kami merasa hampir menyerah
karena kami sudah berjalan cukup jauh tetapi ternyata jalurnya tertutup.
Setelah berdiskusi cukup lama, kami memutuskan untuk lanjut berjalan, mencari
celah di jalur yang tertutup itu dan menuju ke tebing selanjutnya, dan kami pun
berhasil melewati jembatan tersebut.
Perjalanan dilanjutkan dengan
melewati lahan pertanian yang penuh dengan kuda-kuda yang sengaja dilepas untuk
mencari makan. Kami masih belum bertemu dengan rombongan pendaki lain, hanya
kami, di tengah sabana luas nan terik.
sumber : dokumen pribadi
Setelah cukup lama berjalan, kami
melewati tempat yang mirip seperti sungai, tetapi tidak ada airnya. Ternyata
itu adalah bekas jalur aliran lahar gunung Rinjani yang sepertinya sudah lama
tidak dilewati lahar. Selain itu, kami juga melewati bongkahan tebing roboh
yang kami tidak tahu apa penyebabnya.
Kami masih belum menemukan
rombongan pendaki lain. Akhirnya kami mencari tahu dengan mengeluarkan teriakan
agar orang yang mendengarnya bisa membalasnya dengan teriakan juga sehingga
kami tahu bahwa mereka ada di sana. Hal ini biasa dilakukan oleh pendaki ketika
mendaki gunung. Kami berteriak, menunggu sesaat, tapi tidak ada balasan, hanya
suara kami dan suara angin yang terdengar.
Kami sempat terpikir untuk
kembali ke sabana tadi dan mendirikan tenda di sana, tetapi kami memutuskan
untuk melanjutkan perjalanan. Terhitung sudah 3 jam kami berjalan. Dari basecamp
sembalun ke Pos 1 sebenarnya hanya membutuhkan waktu 1 jam setengah.
Setelah selama perjalanan kami
tidak pernah melihat rombongan pendaki lain, kami akhrinya melihat rombongan
pendaki lain, jarak kami dari mereka cukup jauh, kami harus memutar jalur untuk
bisa bertemu mereka. Akhirnya, kami bertemu mereka dan kemudian sama-sama
melanjutkan perjalanan menuju Pos 1.
sumber : dokumen pribadi
Sesampai di Pos 1 kami
menceritakan kejadian yang terjadi selama kami berjalan. Setelah ngobrol cukup
lama, kami baru mengetahui bahwa kami sebenarnya salah jalur. Jalur yang kami
lewati tadi adalah jalur yang sudah lama ditutup oleh pihak TNGR karena alasan
keselamatan. Untuk mengingat kembali, pada tahun 2018 Lombok dilanda gempa bumi
yang sangat besar. Gempa berskala 6.5 SR pada tanggal 29 Juli 2018 menjadi awal
dari rangkaian gempa bumi yang melanda pulau Lombok. Pusatnya berada di
Sembalun, jalur pendakian yang kami lewati saat itu. Setidaknya ada enam
kejadian gempa bumi yang memiliki magnitudo lebih dari 5.5 SR. Setelah kejadian
gempa tersebut, pihak TNGR memutuskan untuk menutup sementara pendakian ke
gunung Rinjani dengan alasan keselamatan. Jalur-jalur penuh tebing runtuh yang
kami lewati itu adalah sisa-sisa rangkaian gempa.
Setelah mengetahui hal tersebut,
kami menyesal tidak mencari informasi lebih banyak mengenai keadaan jalur
pendakian sebelumnya. Kami juga menyesal tidak bersama orang yang pernah ke
gunung Rinjani, kami berempat belum ada yang pernah ke Rinjani sebelumnya.
Setelah beristirahat di Pos 1
cukup lama karena kami merasa sangat lelah setelah memutari jalur menuju pos
satu yang sebenarnya bisa hanya ditempuh dalam waktu 1 jam setengah, kami
melanjutkan perjalanan menuju Pos 2, Pos 3, Pos 4, dan sampai di Pos terakhir
sebelum menuju puncak, yaitu Pos Pelawangan. Kami sampai di pos terakhir
sekitar pukul 7 malam waktu setempat. Kami langsung mendirikan tenda, membersihkan
diri, dan menyiapkan makanan kemudian beristirahat.
Sayang, pendakian ke
puncak Rinjani pada waktu itu masih dilarang karena lereng menuju puncak masih
belum stabil sehabis gempa, begitupun dengan jalur menuju Segara Anak (danau
yang ada di Rinjani). Saya baru bisa mencapai puncak Rinjani saat pendakian
kedua saya pada bulan Juni tahun 2021. Sekian.
Comments